Dengan hal ini pihaknya juga mempersoalkan tentang prosedur atau proses tata cara. Karena menurutnya banyak hal yang tidak benar.
Dari situlah pihaknya dalam agenda sidang kali ini lebih banyak bertanya tentang fakta-fakta yang ada di BAP.
"Kenapa kok bisa begini?? Salah satu contoh, yang dijadikan sebagai barang bukti itu 3 fotokopi lembaran yang berbunyi jelek-jelek, yang macam-macam postingan, semestinya keterangan itu kan harus diambil didalam HP atau di laptop sebagai barang bukti. Tapi itu tidak, hanya berupa fotokopi yang sudah dibawa oleh pelapor, dan secara hukum, fotokopi kan bukan alat bukti. Kenapa kok tidak disita saja dari HP orang yang memberikan informasi, karena itu barang bukti dan sesuai pasal 181 KUHP menyebutkan barang bukti wajib ditunjukkan di dalam persidangan.Itu termasuk menjadi bagian dari persoalan dan banyak hal lainnya yang kami nilai janggal," tandasnya.
Ditempat yang sama, Mohammad Ababilil Mujaddidyn (Billy Nobile & Associate) yang juga Tim Kuasa Hukum Caroline menambahkan bahwa menurut SKB antara Menteri Kominfo Kajagung dan Kapolri, UU ITE itu harus spesifik yaitu nama yang sebenarnya.
"Jadi, selama nama yang sebenarnya ini tidak muncul di dalam unggahan, itu tidak bisa disebut sebagai pencemaran.Dalam kasus ini, identitasnya yang sebenarnya itu bukan yang disebut dalam unggahan. Sampai saat ini pun masih ada unggahannya," tambah pria yang akrab disapa Billy.
Menurutnya, yang terungkap di Pengadilan bahwa identitas pelapor itu ganda, dan di kasus lain, statusnya itu sudah tersangka dan sudah pada tahap P-21 menunggu tahap dua atau pelimpahan dari penyidik Polres ke jaksa.
"Seperti yang disampaikan oleh rekan saya tadi, kenapa kok lambat? itu yang kita pertanyakan.Itu yang kita bilang diskriminasi tadi, penanganan, pelayanan sebagai penegak hukum. Karena ketika klien kami dulu, dua hari langsung selesai," jelasnya."Yang lambat itu penanganan perkara 266 yakni menempatkan keterangan palsu ke dalam akte otentik, itu ancamannya 7 tahun. Padahal perkara itu sangat penting sekali, menguji kebenaran identitasnya, satu Herlina, satu Suprihatin. Ketika lahir di Tulungagung namanya Suprihatin kemudian dia pindah ke Jakarta lahirlah itu namanya Herlina. Ini kan harus dibatalkan dulu demi nama undang-undang. Kan gak boleh identitas ganda itu. makanya itu patut diduga melanggar UU pasal 266 KUHP," tandasnya.
Sementara itu, Caroline juga menyampaikan dengan adanya masalah ini, ada satu pembelajaran atau pesan yang sangat penting.
"Dalam kasus ini minimal ada satu pesan atau pembelajaran yang sangat penting untuk diambil hikmahnya, yaitu berbanggalah dengan nama pemberian orang tua, entah itu mau pindah ke kota metropolitan, ya berbanggalah dengan nama pemberian dari orang tua," timpalnya.
Editor : HN. Arya Rajo Sampono