Penelitian Victor Robert Lee , mengaku punya bukti, ada permintaan resmi warga Tionghoa di Natuna agar RRC menganeksasi pulau itu.“Setelah konfrontasi Malaysia-Indonesia, disusul sentimen anti-Tionghoa di kawasan itu, jumlah penduduk Cina di Natuna turun dari kisaran 5.000-6.000 menjadi tinggal 1.000 orang,” tulisnya.
Muncul selentingan, warga Tionghoa yang masih selamat menghubungi Presiden Cina Deng Xiaoping pada persetujuan 80-an. “Ada permintaan untuk Deng agar China mendukungKemerdekaan wilayah Natuna yang dihuni oleh orang Tionghoa, atau paling tidak masuk kepulauan itu di wilayah administrasi Cina. Demikian ulasan Victor Lee.
Namun, negosiasi ini tidak dapat dibuktikan sampai sekarang. Bisa juga ini hanya sebuah sinyalemen untuk memperkuat, sentimen anti China di kawasan Natuna. Yang buntutnya , adalah kerusuhan rasial. Dan ini, akan membahayakan posisi Indonesia di mata internasional.Dan China akan mengambil keuntungan, membuat kerusuhan rasial, tanpa perlu kekuatan militernya, masuk ke indonesia.
Tapi ternyata, hal itu tidak memberi dampak signifikan.Akhirnya, mereka mulai mencoba dengan mengetest, uji nyali kita, dengan mengirim kapal-kapal nelayannya masuk ke wilayah perairan Indonesia.
Apakah Indonesia takut sehingga tidak bertindak tegas? Salah.Pendapat yang mengatakan kita takut menghadapi China atau siapapun yang mengancam kedaulatan NKRI adalah salah.
KRI tidak segan menindak tegas , dan menembak kapal nelayan China yang nekad masuk kewilayah NKRI. Tenggelamkan saja kata Bu Susi waktu itu. Sehak tahun 2016 , TNI AL dan Bakamla, sudah sering mengusir,menangkap bahkan menenggelamkan kapal kapal nelayan mereka. Tapi tidak kapok kapok juga.Sebagai tambahan info China pada bulan September 2009 menarik sembilan titik diambil dari Pulau Spratly di tengah Laut Cina Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Pemerintah Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memprotes lewat Komisi Landas Kontinen PBB.Garis putus-putus yang ditolak karena peta 1947, itu membuat Indonesia berang. Padahal RI benar-benar berencana menjadi penengah negara-negara yang berkonflik menggunakan atas perairan natuna.Usut punya usut, klaim yang bikin merepotkan enam negara ini dipicu kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (sekarang berkuasa di Taiwan). Mazhab politik Kuomintang menunjang wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan alias perairan Natuna.Sampai Lima tahun terakhir, PBB belum menyetujui protes dari pemerintah Indonesia. Cina juga tidak pernah menyinggung isu itu, sehingga hubungan Beijing- Jakarta relatif adem ayem.
Tapi, sejak jauh-jauh hari TNI sudah menyadari potensi konflik yang melibatkan Natuna. Lebih dari 20 ribu anggota TNI dikerahkan ke wilayah dengan cadangan gas terbesar di Asia mulai tahun 1996.Setelah berkuasa, Presiden Jokowi memberi sikap terhadap Natuna, lebih keras dari sikap SBY .
“Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun,” kata Presiden Joko Widodo, saat diwawancarai Koran Yomiuri Shimbun, Jepang.Sehingga poros Jakarta-Beijing belum akan bergandengan erat sebelum konflik ini selesai.
Editor : Siti Rahmadani HanifahSumber : 73775