Bogor, Kongkrit.com---Tertundanya RUU Pengawasan Obat dan Makanan (RUU Waspom) pada periode DPR 2014-2019 yang lalu membuat anggota dewan di daerah meminta pemerintah pusat dan DPR terpilih untuk segera membahas dan mengesahkan regulasi tersebut. Walaupun masuk bagian dari carry over, namun belum tentu masuk ke Prolegnas prioritas tahun 2020.Menurut Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto, obat dan makanan adalah dua hal penting yang harus dijamin telah memenuhi persyaratan sebelum dikonsumsi masyarakat.
“Jika mencermati peredaran obat dan makanan yang sangat mencemaskan dengan adanya penyimpangan-penyimpangan yang membahayakan kesehatan masyarakat, maka RUU Pengawasan Obat dan Makanan sangatlah penting dan mendesak untuk segera disahkan”, tegasnya saat ditemui di Bogor.Menurutnya, banyak kasus-kasus penyitaan yang berhasil dilakukan oleh BPOM namun kemudian pelakunya, dalam hal ini produsen, distributor maupun toko ritel, tidak jera dan cenderung berulang. Ini mengakibatkan banyak masyarakat yang mengkonsumsi obat palsu, kosmetik palsu dan makanan kadaluarsa.
“Untuk itu, RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan harus mengatur sampai pada tahap otoritas penindakan dan pemberian sanksi," imbuhnya.Atang menambahkan, kalau RUU Waspom ini tidak segera disahkan, maka proses ini akan mulai dari awal lagi. Butuh waktu lagi, tenaga lagi dan sementara korban pemalsuan obat, makanan kadaluarsa, kosmetik berbahaya terus meningkat setiap tahun.
“Dampak buruknya lebih terasa di daerah-daerah karena minimnya pengawasan dari pusat. Untuk itu, kami berharap agar pemerintah pusat, baik Presiden maupun DPR RI untuk segera bersinergi dan melakukan sinkronisasi terhadap draft Undang-Undang ini dan segera mengesahkannya apabila tidak ada hal substantif lagi yang dipermasalahkan," pungkas alumni IPB yang juga politisi Partai Keadilan Sejahtera tersebut.Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan bahwa pengawasan keamanan pangan di Indonesia terpencar di banyak institusi, baik pusat maupun daerah. Setiap lembaga memiliki batas kewenangannya dalam menilai pangan olahan. Dibutuhkan kebijakan satu pintu untuk mengawasi proses dari hulu ke hilir.“Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan harus diperjelas apakah bertujuan untuk melibatkan semua institusi atau hanya Badan POM (BPOM) saja. Bagusnya RUU ini merumuskan kebijakan satu pintu. Jika BPOM punya inisiasi, Undang-Undang ini dinamakan RUU BPOM, dan bukan Waspom. Isinya lebih terkait dengan BPOM. Kalau hanya POM, maka semua institusi jadi terlibat," tuturnya.Adhi mencontohkan, pangan olahan yang beresiko tinggi berada dalam pengawasan BPOM, sedangkan pangan produksi rumah tangga berada di bawah Dinas Kesehatan. Sementara katering justru diawasi oleh Dinas Pariwisata.
"Semuanya masih terpencar-pencar. Padahal konsumennya kan sama. Biskuit UKM, diawasi oleh dinas. Tapi bisnis produksi perusahaan FMCG diawasi oleh BPOM. Ujung-ujungnya malah membuat masyarakat bingung," tuturnya.Adhi menyarankan, jika BPOM yang memegang wewenang tunggal kebijakan satu pintu, maka nama RUU tersebut harus diganti menjadi RUU BPOM.
"Nantinya pengawasan dibagi-bagi. BPOM bisa mendistribusikan kewenangannya ke daerah-daerah melalui dinas dan balai. Ini jika mau menjadikan BPOM sebagai pintu utama," sebutnya. (Rio)
Editor : Siti Rahmadani HanifahSumber : 65632