Jakarta, Kongkrit.com---Ada bagian yang memudar di tengah pancaran terang bangsa ini. Ada yang meredup di antara sinar cahaya yang selama ini membungkus negeri. Amat disayangkan, sesuatu yang memudar dan meredup itu justru merupakan bagian vital dari fondasi kebangsaan, yakni luruhnya karakter dan budi pekerti anak bangsa.Terkait dengan hal ini, GNP2KP, ARJ, bersama segenap elemen masyarakat, Organ, dan juga Relawan menggelar temu wicara sekaligus diskusi publik yang dilaksanakan di Hotel Mega Proklamasi Menteng Jakarta Pusat, yang menghadirkan beberapa narasumber diantaranya adalah Letkol Laut (purn) Dra. Ainil Murni, Sherly Politon SH, Yesri Tandiseru SH, Ir. Haidar Alwi (Ketua Umum ARJ), Aidil Fitri (sekjen ARJ), dan juga perwakilan dari masyarakat Papua. Rabu (04/09).
“Sangat mudah kita menyebutkan contoh konkret lunturnya karakter bangsa itu di era kekinian. Meningkatnya radikalisme, intoleransi, penyebaran berita bohong (hoaks), demagogi kebencian SARA, kian redupnya integritas dan kesantunan, maraknya korupsi, termasuk pula aksi-aksi kejahatan yang kian bengis belakangan ini, semua menjadi tontonan gratis yang sungguh memilukan,” ujar Haidar Alwi, ketua umum ARJ.Padahal, kita punya Pancasila, sebuah ideologi yang telah menjadi kemufakatan bersama sejak negara ini didirikan, sebagai landasan, falsafah, serta nilai dalam kehidupan berbangsa. Suka atau tidak suka, negara ini berdiri dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai perekat. Sejarah membuktikan bahwa melalui Pancasila-Iah bangsa yang majemuk dan multikultur ini bisa direkatkan hingga kini.
“Namun, barangkali, harus diakui juga bahwa nilai-nilai tersebut tak selalu mampu diterjemahkan dalam narasi dan konsep praktis yang mestinya mengikuti perkembangan zaman. Akibatnya, tak perlu heran bila perilaku penyimpangan nilai kian banyak terjadi karena Pancasila tidak dapat terimplementasikan dengan sebenar-benarnya. Itu sebetulnya merupakan bahasa halus untuk menyebut bahwa Pancasila telah dilupakan sebagian masyarakat Indonesia. Dan harus kita ingat pula bahwa upaya menggaungkan nilai-nilai luhur Pancasila itu dan kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa tak cukup hanya dengan cara-cara formal. Sejatinya, bangsa kita membutuhkan keteladanan, contoh yang nyata darl para penumpm dan clue. sekurang kurangnya dalam hal perilaku, integritas, dan tentu saja kekuatan karakter. Tak dipungkiri, saat ini kita kaum perempuan autentik yang menyatu antara kata dan perbuatan,” ungkap Sherly Politon SH, ketua Jaya Perbangsa.Keteladanan adalah contoh paling penting dalam pengaruh utama Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang pemimpin itu lakunya penuh noda, bagaimana anak muda bisa percaya tentang kebaikan Pancasila.
Dalam tataran yang lebih praktis lagi, Internalisasl nilai-nilal Pancasila bisa dilakukan dari lingkup keluarga, misalnya dengan cara melatih anak berterima kasih, meminta maaf, atau mengucapkan minta tolong dan mau memberi pertolongan kepada anggota keluarga, tetangga, dan orang Iain. Apabila ketahanan keluarga itu benalan, maka ketahanan nasnonal akan terbentuk. Kalau keluarga moratmarit. anak terkena narkoba, sudah mesti ketahanan nasional kita menjadi rawan.Keteladanan keluarga menjalankan nilai-nilai luhur Pancasila akan lebih efektif bagi generasi muda sekarang, ketimbang menggunakan pendekatan indoktrinasi. Sebab, mereka lebih senang cara-cara yang komunikatif, partisipatif, dan interaktif.Contoh pengamalan Pancasila yang paling relevan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari adalah menerima perbedaan dan saling menghargai. Bila tidak dikenalkan nilai Pancasila secara intens, maka otomatis pola pikir anak bangsa terutama generasi muda akan terpengaruh, termasuk dalam cara mereka menjalankan toleransi bergama, antar suku, atau pemikiran tentang keadilan sosial. Diharapkan agar Pemerintah bisa mengawasi dan mengingatkan lebih intens lagi mengenai pelajaran Pancasila di Iembaga pendidikan formal. Kalau kurikulum jelas, maka pelaksanaannya ini yang pedu diawasi lagi.“Jadi, alangkah naifnya ketika di usia dini anak-anak di sekolah diberikan pelajaran dan ilmu budi pekerti yang luhur ala Pancasila, tetapi di luar sana para pemimpin, elite, dan orangtua mereka justru terus mempertontonkan perilaku menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Ini sebuah paradoks yang tak boleh dianggap remeh karena boleh jadi malah akan membuat generasi muda menjadi kian apatis terhadap segala hal berbau Pancasila,” ujar Aidil Fikri.
Dan langkah besar yang harus dimulai adalah dengan memperkuat pilar kebangsaan, yakni Pancasila harus mampu dihadirkan secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya lantang dalam pidato-pidato, bukan pula hanya dimasukkan kurikulum sebagai pelajaran moral di bangku-bangku sekolah. Sekali lagi, negeri ini lebih membutuhkan teladan untuk membumikan Pancasila daripada sekedar memformalkannya dalam pendidikan moral Pancasila. (Akbar)
Editor : Siti Rahmadani HanifahSumber : 62205