Dibuat Oleh :May Reza Fadhilla, S.KomFalconry sejatinya adalah tradisi berburu menggunakan burung pemangsa. Tidak semua burung pemangsa dapat digunakan dalam kegiatan ini. Burung pemangsa yang digunakan umumnya haruslah pemburu aktif (Bukan Pemburu pasif/Scavanger), Agresif dan memiliki kemampuan terbang yang baik dalam mengejar buruannya. Pemilihan jenis juga bergantung kepada jenis buruan apa yang tersedia. Sehingga dalam menentukan pilihan, Falconer tidak bisa sembarangan. Mereka harus mempertimbangkan sesuai dengan kebutuhan. Falconry memiliki prosedur-prosedur rumit yang wajib dijalankan demi meminimalisir resiko dan memaksimalkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Yang mungkin akan berbeda-beda tiap spesiesnya.
Oleh karena yang dibutuhkan adalah burung pemangsa yang kemampuan regenerasi populasinya terbilang kecil, Falconry menerapkan etika-etika yang berkaitan dengan konservasi. Agar keberadaan burung pemangsa di habitat alami tetap terjaga. Salah satu etikanya adalah, falconer wajib merilis kembali burung yang bersumber dari alam. Dan menurut disiplin Falconry, burung imprint (di pelihara manusia sejak bayi) akan sangat kecil kemungkinannya untuk sukses jika dirilis (Hal ini juga sempat dibahas oleh The Wild Life Center of Virginia dalam web mereka www.wildlifecenter.org dengan judul "Human-imprinting in Birds and the Importance of Surrogacy” (https://www.wildlifecenter.org/news_events/news/human-imprinting-birds-and-importance-surrogacy)). Maka untuk burung anakan yang bersumber dari alam, sangat tidak dianjurkan untuk diambil/diadopsi. Kecuali dengan alasan-alasan tertentu yang dengan tindakan itu akan menimbulkan dampak yang lebih baik bagi kehidupan alaminya.Individu yang boleh diadopsi adalah individu yang telah berusia remaja mandiri (Juvenile). Hal ini memungkinkan individu-individu yang diambil tetap punya kesempatan untuk berkembang biak di alam saat kembali dirilis nantinya. Maka, dengan prosedur yang sedemikian ketat, ditambah tanggung jawab yang besar, sebenarnya tidak semua orang akan mampu menerapkan falconry dalam hidupnya. Karena akan sangat sulit bagi orang-orang yang tidak punya komitmen, dedikasi, kepedulian dan tanggung jawab untuk menerapkan hal ini.
Falconry dan KonservasiDewasa ini peran falconry cukup besar dalam hal konservasi burung pemangsa di negara-negara yang melegalkan kegiatan ini. Rehabilitasi dengan metode falconry cukup efektif. Dimana dalam proses pemulihan burung pemangsa, diterapkan latihan-latihan yang membuat naluri alaminya kembali terasah serta kebugaran burung tetap terjaga dengan pengaturan pola makan dan berat badan. Kemudian, untuk burung-burung pemburu aktif prosesnya akan berbeda dengan burung-burung pemburu pasif atau scavanger (yang prosesnya sedikit lebih mudah). Mengingat cara berburu mereka yang sangat kompleks, mereka akan dikenalkan dengan mangsa alaminya dan diajarkan bagaimana mendapatkannya secara alami pula. Yaitu dengan berburu di alam yang sesungguhnya. Hal yang tidak akan didapatkan jika proses rehabilitasi hanya menggunakan metode konvensional (Di dalam kandang). Dengan metode falconry, burung dibiasakan untuk tetap menjadi opurtunis dengan selalu melihat banyak potensi mangsa yang bisa mereka dapatkan di alam saat pelatihan berburu. Kemampuan ini dinilai sangat penting sebagai bekal mereka untuk kembali berburu di habitat alaminya. Metode falconry ditujukan agar burung mendapatkan kembali kemampuan alaminya. Sehingga burung akan benar-benar siap saat memasuki masa habituasi dan perilisan.
Metode falconry juga akan menjadikan proses rehabilitasi jauh lebih murah serta efisien karena untuk membuat burung menjadi mandiri, sehat, dan fit tidak membutuhkan kandang yang besar dengan biaya yang mahal tentunya. Alih-alih justru burung dilatih dan diberi kesempatan utk berburu di alam tanpa menimbulkan ketergantungan dengan manusia. Dalam falconry, Manusia hanya berperan sebagai pendamping. Untuk burung-burung pemburu aktif yang sudah terlatih berburu, maka sebelum dirilis yang perlu dilakukan hanya memasukkan burung ke kandang isosali atau habituasi selama minimal 2 minggu, tanpa kontak dengan manusia langsung. Dengan hal ini maka burung masih akan tetap fit dan tidak kehilangan naluri berburunya, sembari melepaskan "ikatan"-nya dengan kehadiran manusia.Metode ini sudah lama diterapkan di negara-negara yang punya tradisi falconry untuk membantu konservasi burung pemangsa. Dibeberapa negara, bahkan falconer telah berhasil menangkarkan burung-burung pemangsa untuk kebutuhan falconry. Sehingga mengurangi pengambilan dari alam. Di tahun 70-an, falconer di Amerika Utara (Bekerjasama dengan beberapa pihak) juga berjasa memulihkan populasi alami peregrine falcon yang menurun akibat penggunaan pestisida. Burung hasil penangkaran dengan metode parrent reared kembali dilepas ke habitat alami hingga periode 1990-an yang berhasil memulihkan populasi. Hal ini membuktikan bahwa falconry berperan besar dalam dan menjadi bagian dari konservasi burung pemangsa.
Falconry di IndonesiaDi beberapa negara, Falconry adalah sebuah tradisi turun-temurun. Sehingga Standar prosedur dan aturan soal itu sudah sejak lama diterapkan untuk menghindari penyalahgunaan atau kegiatan yang melenceng dari falconry. Yang jika tidak diterapkan, berpotensi akan menjadi perusak populasi alami burung pemangsa.
Mengingat tidak semua orang mampu melakukan dengan benar dan berpotensi merusak jika tidak dilakukan dengan benar, para falconer di beberapa negara lainnya (yang tidak punya tradisi falconry) membutuhkan proses pembuktian yang cukup panjang untuk bisa melegalkan falconry. Umumnya, Tantangan yang dihadapi adalah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang bertindak sembarangan mengatasnamakan falconry. Hal ini tentunya akan menimbulkan citra buruk bagi falconry itu sendiri. Masalah yang sama juga terjadi di Indonesia. Dan mungkin masalahnya jauh lebih besar. Dimana orang-orang seperti itu, mengatasnamakan falconry untuk kegiatan-kegiatan yang sebenarnya merusak populasi burung pemangsa di Indonesia. Meningkatnya kegiatan jual beli burung pemangsa yang bersumber dari alam secara ilegal di grup-grup jual beli pada media sosial contohnya. Dalam 1 hari minimal 1-2 ekor burung pemangsa ditawarkan untuk dijual di sana. Lalu siapakan pembelinya? Umumnya adalah orang-orang yang sama sekali awam soal falconry dan konservasi. Sehingga potensi kesalahan dalam penanganan juga amat tinggi.Minimnya pengetahuan mereka soal falconry juga berdampak pada keputusan mereka dalam mengadopsi burung pemangsa (Dimana bagi orang yang benar-benar memahami akan sangat banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan jenis yang akan dipakai dalam kegiatan falconry). Umumnya, di Indonesia, yang paling diminati adalah burung berusia dini (Bayi). Untuk burung yang bersumber dari alam, kecenderungan ini akan menjadi bencana. Dengan alasan mudah diajari, mereka sebenarnya tidak sadar telah menciptakan individu burung yang hanya memiliki peluang kecil untuk sukses saat dirlis (Seperti dijelaskan oleh The Wild Life Center of Virginia dalam web mereka www.wildlifecenter.org dengan judul "Human-imprinting in Birds and the Importance of Surrogacy”). Jika semua burung disita dengan kondisi seperti itu, tentunya akan menjadi dilema bagi balai konservasi. Dirilis, kemungkinannya untuk sukses kecil. Tetap di penampungan juga akan menjadi “beban”.Masalah ini kian hari kian besar seiring dengan meningkatnya jumlah peminat baru di Indonesia. Yang umumnya melakukan kesalahan yang sama. Beberapa orang di Indonesia yang benar-benar faham soal falconry juga merasa hal ini adalah masalah utama yang terjadi di sini. Dengan alasan itu mereka juga amat sangat menentang kegiatan falconry yang tidak dijalankan dengan benar. Masalah lain bagi mereka adalah, jumlah mereka yang sedikit tentunya akan menjadi kesulitan tersendiri untuk melakukan upaya-upaya perbaikan. Dimana praktisi-praktisi yang tidak faham falconry jumlahnya berkali-kali lipat dari mereka. Anggapan buruk para konservator dan pemerintah soal falconry juga menjadi masalah tersendiri. Hal yang mentakitkan, tapi dirasa sangat wajar jika konservator dan pemerintah memberi penilaian yang buruk terhadap falconry. Mengingat apa yang terjadi di Indonesia. Dengan jumlah besar, kesalahan dan dampak buruk dari kegiatan yang mengatasnamakan falconry akan lebih terlihat dibanding kegiatan yang dilakukan segelintir orang yang memahami betul apa itu falconry dan bagaimana penerapannya terhadap konservasi burung pemangsa.
Masalah burung pemangsa di Indonesia memang menjadi salah satu masalah yang pelik. Yang penyelesaiannya mungkin akan butuh waktu. Karna untuk menghilangkan sesuatu yang sudah ada dan dalam jumlah besar pastinya akan sangat sulit. Pilihan terbaik adalah memperbaiki dan mengontrolnya. Dan pastinya akan dibutuhkan kerjasama dari banyak pihak termasuk di dalamnya adalah pemerintah dan falconer (Yang benar-benar memahami falconry). Karna tanpa dukungan pemerintah, penghobi non falconry akan terus berbenturan dengan Falconer dan Konservator.Bali, 10 Agustus 2019
Penulis : May Reza Fadhilla, S.KomEditor : Iswanto
Editor : Siti Rahmadani HanifahSumber : 59535