KONGKRIT.COM – Pemberitaan mengenai klaim Direktur Utama BUMD PT SPRH Perseroda, Rahman SE, yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut berhasil menyetor deviden sebesar Rp 293 miliar ke Pemkab Rokan Hilir (Rohil), mendapat respons kritis dari berbagai pihak, (22/3/2025).
Salah satunya adalah Kepala Divisi Pengawasan dan Pencegahan Yayasan Dewan Perwakilan Pusat Komisi Pengawasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi (DPP KPK TIPIKOR), Arjuna Sitepu, yang mengungkapkan rencananya untuk mengajukan permohonan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) kepada PPID Pelaksana PT SPRH Perseroda.
“Jika diperlukan, permohonan tersebut juga akan diajukan kepada PPID Utama, yaitu Sekretaris Daerah Kabupaten Rokan Hilir, guna memastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan perusahaan,” ungkap Arjuna Sitepu.
Permohonan ini, yang disampaikan dalam siaran pers pada Sabtu (22/03/2025), merupakan langkah untuk memastikan pengelolaan informasi publik sesuai dengan amanat Peraturan Komisi Informasi Publik (PERKI) No. 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik.
Kritik terhadap klaim Rahman SE, yang menyebutkan bahwa deviden sebesar Rp 293 miliar merupakan hasil operasional bisnis perusahaan, disampaikan oleh Tiswarni, Kepala Bagian Ekonomi Pemkab Rohil.
Tiswarni mengungkapkan bahwa deviden tersebut sebenarnya berasal dari dana Participating Interest (PI) sebesar Rp 488 miliar, bukan dari hasil kinerja operasional PT SPRH.Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi dalam pengelolaan dana tersebut, terutama terkait sisa dana PI sebesar Rp 109 miliar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Terkait hal ini, sejumlah regulasi turut disoroti, di antaranya Permendagri No. 118 Tahun 2018 yang mewajibkan direksi untuk menyampaikan laporan keuangan secara bulanan, triwulanan, dan tahunan kepada pemegang saham, dalam hal ini Pemkab Rohil.
Namun, hingga saat ini laporan keuangan PT SPRH belum disampaikan, yang dinilai melanggar ketentuan tersebut.
Selain itu, pengelolaan dana publik yang tidak transparan bisa melanggar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengharuskan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Editor : Zaitun Ul Husna