Kejagung Rilis Angka Kerugian Negara Fantastis dalam Kasus Korupsi, Tapi Pengurangan di Pengadilan

×

Kejagung Rilis Angka Kerugian Negara Fantastis dalam Kasus Korupsi, Tapi Pengurangan di Pengadilan

Bagikan berita
Kejagung Rilis Angka Kerugian Negara Fantastis dalam Kasus Korupsi, Tapi Pengurangan di Pengadilan
Kejagung Rilis Angka Kerugian Negara Fantastis dalam Kasus Korupsi, Tapi Pengurangan di Pengadilan

Majelis hakim mengubah vonisnya menjadi 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, dengan hukuman pengganti berupa pembayaran Rp2,2 triliun atau subsider penjara selama 5 tahun.

Selain itu, hukuman pembayaran kerugian ekonomi sebesar Rp39,7 triliun yang sebelumnya diajukan oleh Jaksa Agung, dihapus oleh MA.

Kasus Surya Darmadi bukan satu-satunya yang menunjukkan perubahan signifikan dalam penghitungan kerugian negara.

Dalam kasus lain, seperti yang melibatkan pengusaha Budi Said terkait dengan jual beli emas Antam, kerugian negara yang awalnya dihitung oleh jaksa sebesar 1.136 kilogram emas, setara dengan Rp1,1 triliun, akhirnya diputuskan oleh hakim hanya sebesar 58,841 kilogram emas, yang setara dengan Rp35,5 miliar.

Menurut pakar hukum, Satria Unggul Wicaksana dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, fenomena penurunan angka kerugian negara ini terjadi karena perbedaan dalam standar audit yang digunakan oleh pihak jaksa dan lembaga audit lainnya.

"Kerugian negara yang fantastis sering kali mencakup lebih dari sekedar kerugian finansial, seperti kerugian sosial dan lingkungan yang dihitung oleh para ahli," ujarnya.

Di sisi lain, ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, menilai bahwa penghitungan kerugian negara yang bervariasi ini bisa terjadi karena jaksa tidak selalu menggunakan audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memang memiliki kewenangan untuk melakukan audit keuangan negara.

"BPK lah yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit terkait kerugian negara dalam kasus korupsi," katanya.

Mudzakkir menambahkan bahwa jika jaksa tidak mengikuti standar audit BPK, angka kerugian negara yang diajukan dapat menjadi terlalu besar dan berisiko berbeda dengan hasil audit resmi BPK.

Selain itu, pengembalian keuangan negara juga harus berdasarkan perhitungan yang aktual dan terkait langsung dengan tindak pidana korupsi yang terjadi, bukan semata-mata karena dampak lingkungan.

Editor : Zaitun Ul Husna
Sumber : tirto.id
Bagikan

Berita Terkait
Terkini