KONGKRIT.COM - Kondisi ekonomi yang sulit memaksa Iyau, seorang petani kecil dari Bukit Gombak, Nagari Padang Laweh, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung, harus menerima kenyataan pahit.
Penghasilannya dari menganyam pandan yang hanya Rp 75.000 per minggu, ditambah upah suaminya sebagai penyadap karet sebesar Rp 100.000 per minggu, tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, apalagi memperbaiki sepeda motor yang rusak.
“Kami rata-rata hanya memiliki penghasilan Rp175.000 per minggu. Ketika motor rusak lima bulan lalu, dan anak kami, Selamat (13 tahun), terpaksa berhenti sekolah karena tidak mau berjalan kaki ke sana,” ujar Iyau dengan nada pilu saat ditemui di rumahnya, Minggu (17/11/2024).
Iyau menambahkan, kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit membuat mereka tak berdaya. Biaya perbaikan motor terlalu besar untuk ditanggung, sementara kebutuhan sehari-hari terus mendesak. Akibatnya, pendidikan anak menjadi korban.
Kasus seperti ini mencerminkan pernyataan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung, Puji Basuki, SP, M.MA., yang menyoroti bahwa salah satu penyebab utama banyaknya anak putus sekolah adalah faktor ekonomi.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam pembukaan Bimbingan Teknis Implementasi Kurikulum Merdeka di Hotel Santika, Bukittinggi, pada 25 Oktober 2024.Kisah Iyau dan keluarganya menjadi gambaran nyata perjuangan hidup masyarakat pedesaan yang bergantung pada sektor informal.
Ketika sarana transportasi pun tak lagi memadai, masa depan pendidikan anak mereka berada di ujung tanduk.
Hal ini menjadi pengingat bahwa perhatian terhadap infrastruktur dasar dan dukungan bagi keluarga kurang mampu sangat dibutuhkan demi mencegah generasi muda kehilangan akses pendidikan.
Editor : Zaitun Ul Husna