Wakil Ketua Umum LKAAM Sumbar, H. Epi Radisman Dt. Paduko Alam SH: Tiga Tahun Begelimang Belut

×

Wakil Ketua Umum LKAAM Sumbar, H. Epi Radisman Dt. Paduko Alam SH: Tiga Tahun Begelimang Belut

Bagikan berita
H Epi Radisman Dt Paduko Alam SH
H Epi Radisman Dt Paduko Alam SH

Sesampainya di Sisawah, saya bersama pedagang-pedagang keliling naik perahu di Tapian Pesong pukul 4 sore, Menghiliri Sungai Batang Sumpu menuju Batang Ombilin di Padang Laweh Nagari hendak di tuju.

Diatas perahu itu saya berkenalan dengan seorang pedagang kain asal Sungai Pua, Bukittinggi, Pak Atiek panggilan akrabnya.

Perahu sampai dan mendarat di Tapian Kudo, Padang Laweh pukul 8 malam. Kami berkumpul di Pertigaan dekat SDN 02 sekarang.

Sekitar pukul 10:30 WIB malam datanglah mobil dari arah Tanjung Ampalu. Betapa terkejutnya saya melihat rumah berjalan. Waktu itulah pertama kalinya saya melihat mobil, oto prah.

Pada usia 12 tahun. Saya lari pontang-panting, melihat rumah berjalan bercahaya itu, namun pak ATIAK dengan suara lantang memanggil-manggil: kemarilah nak Kito naik oto, akhirnya Kami naik mobil itu dan tiba di Tanjung Ampalu sekitar pukul 11:30 malam. Kami tidur di atas loteng Rumah Makan. Saya pakai beras yang enam liter itu sebagai bantal.

Paginya Pak Atiek naik bus Tambuo ke Bukittinggi rupanya. Saya juga ikut naik, saya pikir saya belum sampai di Tanjung Ampalu. Di Singkarak mobil berhenti untuk makan. Saya juga ikut duduk dekat ATIAK.

Perjalanan dilanjutkan dan tiba Pasar Banto, Bukittinggi pukul 08:00 malam. Pak Atiek turun dari mobil dan pergi entah kemana. Saya berjalan menuju jenjang 40. Disitulah pertama kalinya saya melihat bendi atau delman. Kuda membawa rumah.

Tak lama berselang, didepan saya berhenti sebuah bendi. Lalu seorang ibu paroh baya naik. Saya juga ikut naik. Pak kusir menyuruh saya duduk di bangku depan. Asyik mendengarkan derapan kaki kuda dan bunyi lonceng bendi itu bila ditekan oleh kusir. Tak lama sampailah ibu tadi rumahnya, di Pasar Pekan Kamis. Ibu itu turun terus masuk ke rumahnya. Saya juga turun tetapi berjalan menuju los pasar.

Disitulah saya tidur didekat tiang tanpa alas. Dingin bukan main. Tidur di ruangan tanpa dinding berbantal beras 6 liter. Semakin larut malam semakin dingin terasa. Tak tahan sayapun menangis, terisak memanggil ibu dan ayah...., ( Bersambung...).

Editor : Herawati Elnur
Bagikan

Berita Terkait
Terkini