KONGKRIT.COM - Kisah hidup Tamarson di rumah garim baru-baru ini diangkat oleh media Kongkrit.com. Mengetahui hal tersebut, Tamarson menghubungi tim redaksi untuk menyampaikan rasa terima kasihnya.
"Jika saya menceritakan kisah ini kepada teman-teman, mereka pasti menangis duluan," ujarnya melalui telepon selular pada Kamis, 16 Mei 2024.
Mason, sapaan akrab Tamarson, berbagi cerita lebih lanjut tentang rutinitasnya setiap hari Sabtu. Setelah menerima kiriman dari kampung, ia membeli keperluan dapur, termasuk cabai, yang biasanya dimasak pada hari Minggu.
Sebagai orang Minangkabau, cabai adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Cabai tersebut di giling halus menggunakan batu gilingan yang setelah digunakan, dibiarkan begitu saja di dapur tanpa dicuci.
"Pada akhir pekan, sambal sudah habis. Setelah nasi masak, saya menenteng piring ke dapur mencari batu gilingan yang tidak dicuci itu. Saya balurkan nasi panas yang mengepul ke batu gilingan cabai tadi dan langsung menyantapnya. Aduh, bukan main enaknya makan pada waktu itu," kenang Tamarson.
Pada tahun kedua tinggal di rumah garim, seorang penghuni baru bergabung. Namanya Duman, seorang murid baru di SMPN Tanjung Gadang yang juga berasal dari keluarga kurang mampu.
"Pada akhir pekan, kami berebutan mengusapkan nasi ke batu gilingan cabai yang sengaja tidak dicuci itu," tambahnya sambil tertawa.Salah satu kenangan yang sulit dilupakan Tamarson adalah kemeja putih yang dikenakannya selama di SMP. Kemeja itu awalnya adalah seragam kelas V SD yang sengaja dibuat lapang oleh ayahnya agar bisa dipakai hingga Tamarson naik ke kelas 3 SMP.
"Ketika saya naik kelas 3 SMP, seorang teman sekelas bernama Jhonson, yang berasal dari keluarga kaya, membawa saya untuk membeli baju baru dan kebutuhan lainnya. Mungkin itu adalah balas jasa karena saya sering membantunya belajar," lanjut Tamarson penuh semangat.
Ketika ditanya tentang keadaannya saat ini, Tamarson menjawab dengan penuh rasa syukur.
Editor : Herawati Elnur